Akhirnya Kami Lepaskan Burung Itu ke Langit Cerpen Imam Muhtarom AKHIRNYA kami lepaskan burung itu ke langit. Burung yang membuat kami sedesa berseteru sampai darah penghabisan. Kami lepaskan dengan dendangan lagu-lagu yang paling khidmat, paling menyayat. Lagu-lagu yang tidak akan pernah didendangkan kecuali pada saat-saat yang paling membuat kami sedesa merasa tengah mengalami keadaan paling menyedihkan. Kami tidak saling bertegur sapa lagi, tidak saling memanggil dengan akrab lagi. Walaupun kami bertegur sapa, dalam diri kami selalu dibebani oleh kecurigaan-kecurigaan yang membuat kami saling meneror atau diteror. Kami bahkan mengasah pedang dan menyalakan api dendam pada diri kami masing-masing seolah kami sedang dilanda sebuah permasalahan yang demikian berat, demikian tidak mungkin diselesaikan dengan akal sehat kami. Orang-orang sedesa kami pada berdiam, menahan nafas dalam-dalam, dan selalu waspada pada setiap orang yang dijumpai. Tidak lagi perduli apakah orang tersebut tetangga, istri, suami, saudara, saudara jauh, anak, maupun cucu. Orang-orang desa kami tidak pernah berhenti untuk selalu mengumbar dendam yang mereka sendiri tidak pernah tahu asal muasalnya kecuali ketika kedatangan perempuan cantik yang tidak tahu dari mana asalnya, yang mulanya hanya minta minum dan mengatakan sedang melakukan perjalanan jauh dari ujung matahari terbit. Perempuan cantik jelita, bermata berbinar-binar seperti memiliki harapan yang jauh akan masa hidupnya jika ia mencapai matahari terbit. Bibirnya merah merona yang membuat orang-orang desa kami takjub dan mengatakan pada dirinya jikalau bibir itu berkata, "Aku akan membuat kalian penuh semangat" dan tidak seorangpun punya padanan yang sesuai dengan lekuk-liku pada gurat-gurat bibirnya yang merona. Warna buah jambu yang menjadi batas desa kami, tidak mampu menyamainya. Kadang orang-orang desa kami berusaha mengibaratkannya dengan benda-benda lain dalam pengalaman hidup mereka dalam berhari-hari lamanya tetapi merasa semua itu tidak sesuai. Lekuk-liku bibir itu terlalu dasyat untuk dibandingkan dengan buah jambu yang tidak untuk dimakan, namun oleh tetua desa kami digunakan penghias desa kami agar desa kami tampak indah, memukau, dan pernah dalam suatu pertemuan yang diikuti semua penghuni desa, sang tetua desa kami bilang bahwa warna-warni buah jambu itu akan terasa lain bila seseorang berada di atas desa langit kami. Tetua itu berkata, "Pasti orang yang dapat terbang itu langsung mengatupkan sayap-sayapnya dan dengan cekatan ingin melihat apa yang sesungguhnya terjadi di tempat itu sehingga ada warna merah menyolok dari kejauhan langit." Si tetua desa kami membayangkan orang yang terbang itu pastilah memiliki kabar yang demikian bagus, berasal dari entah dunia yang mana, sehingga dapat terbang mengelilingi kolong langit yang kami tidak bisa memikirkannya sejauh mana luas semesta tempat kami hidup. Demikianlah orang-orang desa kami dibuat teratur oleh sang tetua desa agar menjaga pohon-pohon jambu itu, bercocok tanam dengan rajin, menyiangi jalan-jalan yang penuh rumput, mengadakan ronda malam, mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas persedian makanan di musim mendatang, mengadakan pencatatan-pencatatan tentang perubahan alam, mengatur hubungan antar penghuni desa, mengadakan upacara-upacara. Dapat dikatakan sampai desa kami kedatangan perempuan cantik tidak ada yang perlu dikwatirkan. Seolah dalam imajinasi penduduk desa kami hidup adalah menjamin bagaimana ketentuan-ketentuan dari tetua desa tidak berantakan. Walaupun hampir selamanya belum ada seorang yang terbang kemudian mengatupkan sayapnya dan akan menjadi tamu kehormatan kami, kami percaya suatu saat sang penerbang dari tempat antah berantah pastilah datang. Ia akan membawa kabar-kabar menyenangkan, mengajari kami terbang, mengajak kami sedesa berkeliling buana sehingga kami mengetahui dengan pasti kerlip-kerlip cahaya di malam hari, bola cahaya yang menyorot di siang hari, air yang tumpah ruah pada musim hujan. Pokoknya kami akan mengetahui segala rahasia alam semesta itu dan sebagaimana yang selalu ditekankan tetua desa kami, pada saat segala rahasia diketahui, akan disusun apa sesungguhnya makna hidup kami ini. Kami tidak akan mengalami kekosongan hidup seperti yang kami idap ketika kami masih berada di belantara hutan bersama kera-kera memakan jambu, berebut daging kijang dengan harimau dan singa, selalu berpindah-pindah untuk mencari tanah yang tidak terlalu basah ketika hujan tidak pernah berhenti tumpah dari langit atau mencari tanah yang ada airnya ketika tempat yang melindungi kami dari hujan menjadi panas tidak ada henti-hentinya. Kami diombang-ambingkan tidak menentu antara apa yang sedang kami alami dan apa maksud sesungguhnya yang kami alami itu. Suatu saat seorang tetua kami yang selama ini menjadi panutan kami, memerintahkan kami untuk mendirikan tempat berlindung yang membuat kami tidak kehujanan pada musim hujan dan tidak membuat kami kepanasan pada saat musim kering. Kami sepakat dan kami menjalankan perintah-perintah dari tetua desa kami tanpa sangkalan. Kami merasa semua ini demi kebaikan kami. Dan memang benar, kami menjadi lebih nyaman dan bisa memikirkan apa makna hidup kami. Terlebih ketika tetua desa kami memiliki pikiran-pikiran yang dalam diri kami merupakan perkataan orang yang tahu apa yang paling baik pada hidup kami. Namun berantakan semua itu ketika perempuan cantik berbibir dengan lekuk-liuknya yang memabukkan, matanya membuat kami membayangkan daratan luas yang indah, aroma udara yang wangi, tidak ada hujan, tidak ada panas. Walaupun kami berpikir bahwa apa yang dikatakan tetua desa adalah seorang yang dapat terbang dan datang dengan mengatupkan kedua sayapnya, kami diam-diam berharap perempuan memabukkan inilah yang akan membuat hidup kami di tengah maha rahasia hidup berakhir dan kami akan mengetahui apa yang paling tepat kami lakukan pada hidup kami masing-masing. Maka, bukan air saja yang diberikan pada perempuan cantik memabukkan itu, tetapi apa-apa yang dalam hidup kami dianggap mewah dan sangat jarang dilakukan diserahkan pada perempuan cantik memabukkan itu. Setiap orang di desa kami berlomba-lomba memberikan minuman yang disadap sarang lebah yang paling lezat tetapi setiap orang yang menyadap akan mati bila terkena sengat lebah. Minuman itu dicampuri sari buah durian dan disajikan dalam gelas yang terbuat dari kayu berukir paling istimewa. Tidak hanya itu. Setiap orang akan menyembelih binatang piaraannya. Sapi untuk menarik bajak, ayam yang sesungguhnya untuk mendapatkan telurnya sehingga anak-anak desa kami berbadan sehat-sehat dengan makan telurnya, ikan-ikan dalam empang kami. Setiap rumah di desa kami membuat rumahnya menjadi lebih indah dan lebih nyaman dengan taruhan rumahnya akan dijadikan tempat tinggal perempuan cantik memabukkan itu. Orang-orang desa kami lebih baik mengalah dengan tidur di luar rumah, di bawah pohon jambu yang saat itu masa musim buah berakhir. Orang-orang desa kami berada diantara buah-buah jambu membusuk. Merelakan rongga dadanya dipenuhi rasa busuk tanpa mengindahkan anak-anak mereka yang masih kecil terserang penyakit sesak nafas. Membiarkan anak-anaknya menangis dan malah memukulnya bila terlalu mengganggu perhatian mereka apakah si perempuan cantik memabukkan tinggal di rumahnya atau tidak. Anak-anak mereka terlantar dan satu per satu mati. Orang-orang desa kami tidak lagi melakukan upacara pengantar kematian pada anggota desanya yang mati seperti biasanya, tetapi melemparkan ke sungai seperti halnya mereka melemparkannya bangkai-bangkai ayam. Mereka tidak peduli lagi pada anak-anak yang keluar desa dan mencari makan sendiri ke dalam hutan. Mereka seolah malah senang dengan berkurangnya beban. Mereka tidak kwatir apabila anak-anak mereka dimakan serigala atau harimau seperti kekwatiran mereka dulu ketika masih hidup berpindah-pindah. Malah diantaranya menyuruh anak-anaknya mengikuti anak yang masuk hutan. Tidak berapa lama anak-anak lenyap dari desa kami. Desa kami hanya dihuni orang dewasa dengan imajinasi di kepala masing-masing dengan menemukan pencerahan dari ketaatan selama ini berlelah-lelah melakukan apa yang dititahkan tetua kampung. Masing-masing dari orang-orang desa kami bersaing keras untuk mendapatkan perempuan berbibir memabukkan. Mereka seolah tidak mau kehilangan bayangan padang luas terbentang indah dipenuhi bau mewangi dan tidak dibingungkan rasa lapar, rasa dingin, maupun rasa panas. Seolah orang-orang desa kami telah jemu menaati peraturan demi peraturan yang tidak berujung. Mereka yang dulu sebebas kehidupan di hutan rimba dibuat tunduk oleh peraturan yang dalam benak mereka berubah menjadi sesuatu yang konyol, tidak lebih dari mainan anak-anak. Orang-orang desa kami tidak mengindahkan anjuran-anjuran, himbauan-himbauan, bahkan ancaman-ancaman dari orang-orang pendukung tetua desa kami. Orang-orang desa kami tidak hanya diam dan terus-menerus memusatkan perhatiannya pada perempuan berbibir memabukkan dan bermata bagai padang luas menghampar, tapi mengasah pedang tajam-tajam hingga pada suatu siang yang panas cahaya matahari yang berpantulan dari bilah pedang yang diacungkan tinggi-tinggi ke udara membuat desa kami seperti permukaan sungai yang berkilatan oleh cahaya matahari. Pantulan cahaya-cahaya itu membuat silau dan membuat semua binatang peliharaan orang-orang desa kami lari tunggang langgang ke dalam hutan. Suara-suara ketakutan binatang itu menggemuruh seolah ada peristiwa yang selama hidupnya demikian dasyat dan tidak ada tindakan lain kecuali lari. Lari seperti halnya munculnya keberanian orang-orang desa kami untuk menentang titah tetua desa dengan mengasah pedang, mengacung-acungkan ke udara, memekikkan genderang kematian. Tetua desa dan orang-orang akhirnya mundur ke pingggiran desa sebelah utara. Mereka hanya mengamati dari kejauhan. Membuat gubug kecil dan tidak mau lagi bentrok meskipun sesuatu yang baginya sangat memalukan dengan kehilangan kewibawaan yang selama ini sedikit demi sedikit ia bangun. Sang tetua kembali ke kebiasannya semula dengan mengeluarkan jaring kecilnya, turun ke sungai, dan dengan bersiul-siul menangkapi ikan-ikan kecil dan memakannya bersama anak buahnya seperti ketika tetua kampung masih berada di dalam hutan. Seolah ia kembali menjadi orang kerdil dengan perkataan-perkataan yang tidak lagi berfungsi kecuali umpatan yang tidak mengundang anak buahnya takut, kecuali tersenyum menghina dalam hati. Sementara itu orang-orang desa kami mulai saling mengancam satu sama lainnya, terutama saat si perempuan berbibir memabukkan itu tidak segera pindah dari rumahnya. Mereka tidak mau harapan itu hanya milik satu orang tetapi milik semua orang. "Siapa yang tidak ingin memiliki harapan untuk hidup membahagiakan!" teriak setiap orang desa kami dengan pedang menghunus ke udara ketika rumahnya tidak dijadikan hunian perempuan berbibir memabukkan. Orang-orang yang tidak kebagian rumahnya ditempati perempuan berbibir memabukkan tidak segan-segan membakar dan menyeret perempuan berbibir memabukkan untuk tinggal sesaat di rumahnya. Mereka tidak saja menggunakan kata yang lemah lembut agar si perempuan berbibir memabukkan mau singgah sebentar di rumahnya, tapi akan dengan keras menyeretnya dan tidak peduli si perempuan berbibir cantik itu meraung-raung ketakutan. Mereka malah mencincangnya dan melemparkannya ke dalam rumah dan menguncinya dari luar. Karena ada tiga puluhan rumah dan setiap pemilik rumah menganggap dirinya paling berhak, perempuan berbibir memabukkan menjadi demikian menderita. Wajahnya kalut dan tidak henti-hentinya menangis. Setiap malam, ketika sang pemilik rumah mengintip apa yang dilakukan si perempuan berbibir memabukkan di dalam biliknya dengan kebanggaan yang tiada terhingga, si perempuan berbibir memabukkan sesenggukan dan tidak berkata apa-apa. Melemparkan baju-bajunya ke lantai, mencabik-cabik tubuhnya yang putih sekaligus menampakkan kelelahan yang luar biasa diantara kilatan lampu minyak yang dipasang di dinding-dinding rumah. Sang ayah dari rumah itu merasa berhak sekali untuk masuk dan menikmati tubuh molek memabukkan itu, sementara si anak lelaki yang beranjak menyatakan bahwa dirinyalah yang lebih berhak sebab ia belum memiliki jodoh. Namun si ibu mengatakan bahwa perempuan berbibir memabukkan itu bukan untuk diapa-apakan kecuali untuk diambil kemukzizatannya. Mereka bertengkar dan ketika salah seorang berusaha menengahi, terutama mereka yang memiliki anak perempuan dewasa, sang ayah dan si anak lelaki dewasa akan menamparnya. "Apa aku harus menidurimu, hei anak tak tahu malu!" seru sang ayah. "Kurang ajar, apa kau mau begituan dengan saudara lakimu sendiri!" sergah saudara lelakinya yang pada saat itu tengah mencengkeram bahu saudara perempuannya dan melemparkannya ke dalam semak belukar. "Tidak, aku tidak mau kalian berbunuhan hanya untuk perempuan gila karena kalian tidak memiliki padanan bibirnya yang merah memabukkan itu,"jawab si anak perempuan dari balik semak belukar dengan suara tersiksa. "Matilah kau anak terkutuk!" teriak sang bapak yang tangannya dipegang erat-erat oleh istrinya yang mengiba-iba agar tidak meniduri perempuan berbibir memabukkan itu karena ia merasa dikhianati. "Mau apa kau perempuan buruk, aku tidak lagi pernah tidur dengan perempuan semenjak tubuhnya berbau tanah!" teriaknya dengan was-was karena di sampingnya sang anak lelaki mengancam akan menebas lehernya bila sang ayah membuka pintu ke arah perempuan bibir memabukkan. Demikianlah berbulan-bulan kekacauan terjadi tiada henti-hentinya. Rumput-rumput liar bertumbuhan, serangga-serangga liar berkelayapan di lantai-lantai rumah. Tidak ada persediaan makanan kecuali pedang-pedang berkilatan. Wajah-wajah kosong menyelimuti di setiap pandangan orang-orang sedesa kami. Kelelehan dan kekecewaan benar-benar mendera jiwa mereka ketika mereka kehilangan bahasa untuk menyapa para tetangganya maupun anggota keluargannya ketika selama berbulan-bulan mereka hanya menggunakan umpatan dan ancaman. Walaupun tidak ada satupun orang tewas tertebas pedang, tampak kepedihan menggelayuti orang desa kami dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika melihat tubuh-tubuh mereka berubah ringkih. Sementara itu perempuan berbibir memabukkan telah berubah menjadi sosok yang demikian menjijikkan. Tubuhnya kurus, digelibati keriput, dan tidak bisa diajak bicara. Sesekali tertawa dan sesekali menangis seraya menyerukan sebuah daerah yang berada di balik matahari terbit. Desa kami sunyi dan sepanjang hari hanya terdengar burung bangkai yang seolah telah bersiap-siap untuk menyantap tubuh-tubuh kami yang diliputi keringkihan. Burung-burung bangkai itu seperti telah mencium aroma bangkai pada tubuh kami meskipun tubuh kami masih bisa bernafas. "Apakah kegilaan ini akan kita teruskan!" teriak seorang dari kami ketika beberapa hari terakhir yang tersisa adalah sunyi. Tidak ada pedang mengacung ke langit, tidak ada umpatan, ancaman, dan tidak ada harapan padang luas membentang dengan keindahannya. "Tidak!" jawab salah seorang dari kami yang saat itu berada di sebuah pelataran luas penuh dengan rumput liar. "Baik. Kita akan melepaskan perempuan berbibir memabukkan ini dari lingkungan desa kita, karena perempuan yang tidak lagi indah ini adalah penyebab ketenteraman desa kita." Kata salah seorang dari desa kami tersebut dengan ujung jari menunjuk bekas perempuan berbibir tebal yang saat ini kami ikat dengan tali agar tidak meronta-ronta dan mencabik-cabik tubuhnya sendiri dengan kukunya yang panjang menghitam. "Lalu bagaiamana harapan kita?" tanya salah seorang dari kami. "Tidak ada harapan, tidak ada makna hidup seperti kata tetua kampung kita dulu. Bukan harapan yang kita perlukan, tetapi ketenteraman dan keteraturan hidup. Titik!" "Kita akan membebaskan perempuan ini dan melepaskanya dalam wujud burung sehingga ia bebas melenggang, bebas menuju tempat di balik matahari terbit." Demikianlah seharian itu kami menyiapkan upacara pelepasan perempuan yang telah diubah menjadi seekor burung. Perempuan yang tidak hanya mencabik-cabik tubuhnya dengan kuku panjang hitamnya, tetapi juga mencabik-cabik kehidupan kami menuju perseteruan-perseteruan yang tiada hentinya. Akhirnya kami lepaskan burung itu ke langit. Kami lepaskan dengan dendangan lagu-lagu yang paling khidmat, paling menyayat. Lagu-lagu yang tidak akan pernah didendangkan kecuali pada saat-saat yang paling membuat kami sedesa merasa tengah mengalami keadaan paling menyedihkan. (72)